“We Control
Everything”
Sejak tahun lalu aku sudah dengar soal film ‘3’.
Film yang hanya sempat beredar seminggu untuk kemudian, tanpa alasan yang
jelas, ditarik dengan semena-mena. Tema filmnya memang nggak biasa. Dan harus diakui,
‘berat’. Perlu ditonton dengan cermat untuk memahami jalan ceritanya.
Terus, di akhir tahun salah satu stasiun tv ada yang
menayangkan film itu. Sayang, aku nggak bisa nonton. Kalah saingan berebut tv. J
Beberapa waktu kemudian, di FB, banyak bersliweran link bajakannya. Berhubung
penasaran dengan ceritanya, aku pun ikut-ikutan download. Sampai kemudian,
sutradara film tersebut, Anggy Umbara, bikin status yang meminta netizen
berhenti men-donlot film itu. Menurut beliau, bajakan film yang beredar di
internet itu versi yang sudah banyak potongan sensor. Dan yang disensor, justru
bagian penting yang merupakan inti cerita. Kata beliau juga, mending meminta
copy-an filmnya langsung pada beliau. Akan diberikan yang versi tanpa sensor
tv.
Setelah nunggu sekian lama, akhirnya di PWT ada juga
acara nobar-nya. Penasaran sebanyak apa perbedaannya dengan versi bajakan, aku
pun segera daftar untuk ikut acara nobar. Aku juga sengaja menahan diri untuk
tidak membuat tulisan tentang film ini sebelum nonton versi panjangnya. Sesuatu
yang terpenggal, tentu akan mengurangi nilai keakuratan tulisanku. Ini, sih,
IMHO, lho.
Jadi secara singkat, film ini menceritakan
persahabatan tiga orang santri yang besar di sebuah pesantren. Setelah dewasa
ketiganya mengambil jalan yang berbeda. Alif menjadi anggota detasemen khusus
anti teror, Lam wartawan di sebuah kantor berita sedangkan Mim mengabdi di
pesantren sebagai guru.
Oh, ya, latar belakang cerita adalah Indonesia di
tahun 2036. Tenang, masih jauh, kok. J
Saat itu, Indonesia sudah menjadi negara liberal yang (katanya) menjunjung HAM.
Makanya, ada aturan larangan menggunakan peluru tajam. Agama dianggap sebagai
penyebab terhambatnya HAM dan akibatnya, ada larangan menampilkan simbol-simbol
religius dalam bentuk apa pun. Banyak masjid juga dihancurkan dan dijadikan
gudang. Kelihatan damai, tapi terasa kosong.
Jadi, kalau ada orang kelihatan sedang shalat,
langsung dianggap radikal, ekstrimis, fundamentalis dan is-is yang lainnya. Sounds
familiar? Ini cuma yang kelihatan
shalat, lho, yang pake baju Islami macam gamis atau kerudung and cadar,
menyingkir ke komunitas pesantren untuk bisa bebas berpakaian. Kelihatan
berpenampilan Islami di area publik, alamat diusir. Karena dianggap
‘meresahkan’. Na’udzubillah.
Di film bajakannya, hal-hal ini disensor. Jadi, yang
terlihat menonjol di layar tv waktu tayang, hanya adegan laganya saja. Sementara, inti ceritanya malah
jadi hilang.
Sebetulnya film ini, merupakan teriakan untuk
waspada terhadap cengkeraman liberalisme yang sudah menggurita di mana-mana.
Agama lain sudah bertekuk lutut karena tidak sanggup melawan pengaruh liberal
ini. Islam satu-satunya yang masih bisa bertahan. Maka dari itu, gempuran dahsyat liberalisme paling banyak
tertuju pada umat Islam.
Segala cara dipakai untuk menjauhkan muslim dari
agamanya. Salah satunya dengan menggunakan media massa, baik tv, radio mau pun
film. Nggak usah jauh-jauh ke luar negri, perhatikan saja sinetron yang banyak
ditayangkan di tv kita. Rasanya sulit mendapat tontonan yang bisa jadi
tuntunan. Semuanya mempromosikan hal-hal yang malah menjauhkan kita dari agama.
Kalau pun ada, yah, cuma minoritas, dan karena ratingnya nggak bagus, biasanya
cuma tayang sebentar. Just like this movie. Tayang cuma seminggu untuk kemudian
menghilang tanpa alasan yang jelas.
Pesan utama film ‘3’ ini ada pada kata-kata Kyai
Mukhlis saat akan ditangkap.
Maksudnya bukan hanya merapatkan shaf saat shalat
saja, namun juga sudah saatnya umat Islam saling bekerja sama. Mengesampingkan
perbedaan yang memang dimungkinkan dalam islam dan mulai merapatkan barisan
menghadapi musuh ideologis bersama. Karena musuh tidak mungkin bisa dikalahkan
bila kita saling bertengkar hanya karena hal-hal yang bukan merupakan prinsip.
Yang lebih penting mulai lah memakmurkan masjid. Jadikan masjid sebagai tempat
kita mengurus segala urusan umat. Dan setiap masuk ke masjid, tanggalkanlah
semua ‘baju’ organisasi, pakai lah ‘baju’ Islam. Karena sesungguhnya, islam itu
satu dan membawa kedamaian bukan permusuhan.
Secara keseluruhan, film ini sangat layak dijadikan
bahan perenungan dan diskusi. Bukan hanya untuk aktivis dakwah, tapi juga oleh
umat Islam seluruhnya. Sayang, kalau hanya beberapa gelintir umat saja yang
paham dan berusaha membendung paham liberal yang merusak ini. Saat ini, Islam
dihadapkan pada perang pemikiran yang tidak dapat dengan mudah dikesampingkan.
Kalau hanya tubuh yang terluka, masih bisa bisa disembuhkan. Tapi kalau
pemikiran dan akidah yang rusak, akhirat juga ikut rusak. Dan kalau sudah
begitu, ucapkan saja selamat tinggal pada surga.
Yang agak mengganjal memang, ending film ini yang
menggantung. Memberikan ruang bagi penonton untuk menebak-nebak, apa yang akan
terjadi selanjutnya. Mungkin kalau yang suka nulis fiksi bisa dijadikan fanfic.
J
Tapi untuk orang semacam aku yang nggak begitu suka nonton serial, ending model begini bikin kesel.
Mudah-mudahan sutradara film ini, mas Anggy Umbara, segera membuat sekuelnya.
Biar nggak bikin penasaran.
Banyak pertanyaan yang muncul setelah menonton film
ini. Sekuelnya mudah-mudahan bisa menjawab
semua pertanyaan itu. Atau malah memunculkan banyak pertanyaan lain? Who
knows?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar