Rabu, 10 Agustus 2016

‘ALIF LAM MIM’, BUKAN FILM LAGA BIASA

“We Control Everything”

Sejak tahun lalu aku sudah dengar soal film ‘3’. Film yang hanya sempat beredar seminggu untuk kemudian, tanpa alasan yang jelas, ditarik dengan semena-mena. Tema filmnya memang nggak biasa. Dan harus diakui, ‘berat’. Perlu ditonton dengan cermat untuk memahami jalan ceritanya.
Terus, di akhir tahun salah satu stasiun tv ada yang menayangkan film itu. Sayang, aku nggak bisa nonton. Kalah saingan berebut tv. J Beberapa waktu kemudian, di FB, banyak bersliweran link bajakannya. Berhubung penasaran dengan ceritanya, aku pun ikut-ikutan download. Sampai kemudian, sutradara film tersebut, Anggy Umbara, bikin status yang meminta netizen berhenti men-donlot film itu. Menurut beliau, bajakan film yang beredar di internet itu versi yang sudah banyak potongan sensor. Dan yang disensor, justru bagian penting yang merupakan inti cerita. Kata beliau juga, mending meminta copy-an filmnya langsung pada beliau. Akan diberikan yang versi tanpa sensor tv. 

Setelah nunggu sekian lama, akhirnya di PWT ada juga acara nobar-nya. Penasaran sebanyak apa perbedaannya dengan versi bajakan, aku pun segera daftar untuk ikut acara nobar. Aku juga sengaja menahan diri untuk tidak membuat tulisan tentang film ini sebelum nonton versi panjangnya. Sesuatu yang terpenggal, tentu akan mengurangi nilai keakuratan tulisanku. Ini, sih, IMHO, lho.
Fyuh, so enjoy the posting.


Jadi secara singkat, film ini menceritakan persahabatan tiga orang santri yang besar di sebuah pesantren. Setelah dewasa ketiganya mengambil jalan yang berbeda. Alif menjadi anggota detasemen khusus anti teror, Lam wartawan di sebuah kantor berita sedangkan Mim mengabdi di pesantren sebagai guru.

Oh, ya, latar belakang cerita adalah Indonesia di tahun 2036. Tenang, masih jauh, kok. J Saat itu, Indonesia sudah menjadi negara liberal yang (katanya) menjunjung HAM. Makanya, ada aturan larangan menggunakan peluru tajam. Agama dianggap sebagai penyebab terhambatnya HAM dan akibatnya, ada larangan menampilkan simbol-simbol religius dalam bentuk apa pun. Banyak masjid juga dihancurkan dan dijadikan gudang. Kelihatan damai, tapi terasa kosong.
Jadi, kalau ada orang kelihatan sedang shalat, langsung dianggap radikal, ekstrimis, fundamentalis dan is-is yang lainnya. Sounds familiar? Ini cuma  yang kelihatan shalat, lho, yang pake baju Islami macam gamis atau kerudung and cadar, menyingkir ke komunitas pesantren untuk bisa bebas berpakaian. Kelihatan berpenampilan Islami di area publik, alamat diusir. Karena dianggap ‘meresahkan’. Na’udzubillah.

Di film bajakannya, hal-hal ini disensor. Jadi, yang terlihat menonjol di layar tv waktu tayang, hanya adegan  laganya saja. Sementara, inti ceritanya malah jadi hilang.
Sebetulnya film ini, merupakan teriakan untuk waspada terhadap cengkeraman liberalisme yang sudah menggurita di mana-mana. Agama lain sudah bertekuk lutut karena tidak sanggup melawan pengaruh liberal ini. Islam satu-satunya yang masih bisa bertahan. Maka dari itu,  gempuran dahsyat liberalisme paling banyak tertuju pada umat Islam.

Segala cara dipakai untuk menjauhkan muslim dari agamanya. Salah satunya dengan menggunakan media massa, baik tv, radio mau pun film. Nggak usah jauh-jauh ke luar negri, perhatikan saja sinetron yang banyak ditayangkan di tv kita. Rasanya sulit mendapat tontonan yang bisa jadi tuntunan. Semuanya mempromosikan hal-hal yang malah menjauhkan kita dari agama. Kalau pun ada, yah, cuma minoritas, dan karena ratingnya nggak bagus, biasanya cuma tayang sebentar. Just like this movie. Tayang cuma seminggu untuk kemudian menghilang tanpa alasan yang jelas.
Pesan utama film ‘3’ ini ada pada kata-kata Kyai Mukhlis saat akan ditangkap.
“Rapatkan shaf kalian.”

Maksudnya bukan hanya merapatkan shaf saat shalat saja, namun juga sudah saatnya umat Islam saling bekerja sama. Mengesampingkan perbedaan yang memang dimungkinkan dalam islam dan mulai merapatkan barisan menghadapi musuh ideologis bersama. Karena musuh tidak mungkin bisa dikalahkan bila kita saling bertengkar hanya karena hal-hal yang bukan merupakan prinsip. Yang lebih penting mulai lah memakmurkan masjid. Jadikan masjid sebagai tempat kita mengurus segala urusan umat. Dan setiap masuk ke masjid, tanggalkanlah semua ‘baju’ organisasi, pakai lah ‘baju’ Islam. Karena sesungguhnya, islam itu satu dan membawa kedamaian bukan permusuhan.
Secara keseluruhan, film ini sangat layak dijadikan bahan perenungan dan diskusi. Bukan hanya untuk aktivis dakwah, tapi juga oleh umat Islam seluruhnya. Sayang, kalau hanya beberapa gelintir umat saja yang paham dan berusaha membendung paham liberal yang merusak ini. Saat ini, Islam dihadapkan pada perang pemikiran yang tidak dapat dengan mudah dikesampingkan. Kalau hanya tubuh yang terluka, masih bisa bisa disembuhkan. Tapi kalau pemikiran dan akidah yang rusak, akhirat juga ikut rusak. Dan kalau sudah begitu, ucapkan saja selamat tinggal pada surga.

Yang agak mengganjal memang, ending film ini yang menggantung. Memberikan ruang bagi penonton untuk menebak-nebak, apa yang akan terjadi selanjutnya. Mungkin kalau yang suka nulis fiksi bisa dijadikan fanfic. J Tapi untuk orang semacam aku yang nggak begitu suka nonton  serial, ending model begini bikin kesel. Mudah-mudahan sutradara film ini, mas Anggy Umbara, segera membuat sekuelnya. Biar nggak bikin penasaran.

Banyak pertanyaan yang muncul setelah menonton film ini. Sekuelnya mudah-mudahan bisa menjawab  semua pertanyaan itu. Atau malah memunculkan banyak pertanyaan lain? Who knows?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

‘ALIF LAM MIM’, BUKAN FILM LAGA BIASA

“We Control Everything” Sejak tahun lalu aku sudah dengar soal film ‘3’. Film yang hanya sempat beredar seminggu untuk kemudian, tanp...